Are u a DIRECTIONER??
Here I have a story written by @ amaliaisyah that i found in twitter. its about Niall Love Story.
It just imagination story based on the writer. so, enjoy and comment !!
When I Miss You
written by
@_amaliaisyah
Enjoy!<3
Casts:
Niall Horan
Keara Arashi
Jasmine Agustina
One Direction
***
“I heard a news about you. Are you really happy now? Without me?”
----
Aku menatap televisi di hadapanku dengan pandangan kosong. Suara pembawa acara
infotainment itu masih terngiang di telingaku. Mataku terasa panas. Dadaku
rasanya sesak sekali. Aku mengerjapkan mata dan setetes air mata jatuh mengenai
telapak tanganku. Cepat-cepat aku menghapus air mata itu, tetapi yang terjadi
malah air mata itu jatuh lagi dan aku mulai terisak.
Di tengah temaramnya kamarku, aku menangisinya. Penerangan di kamarku hanya
dibantu oleh cahaya televisi yang masih menyala dan sinar matahari kemerahan
yang mulai tenggelam. Langit di luar sana sudah mendung, tanda sebentar lagi
akan turun hujan. Dan benar saja, samar-samar mulai terdengar suara rintik
hujan yang lama-kelamaan semakin deras. Bahkan suara hujan yang seharusnya
berisik, tidak mengalahkan suara televisi yang saat ini paling tidak ingin
kudengar.
“… haha yeah, of course. Everyone, meet my girlfriend. She’s Jasmine Agustina.
And I love her…,” ujar laki-laki itu.
Benarkah? Dia mencintainya? Lalu bagaimana denganku? Aku yang pernah
dikatakannya kalau ia mencintaiku. Kenapa cepat sekali? Padahal, baru seminggu
yang lalu. Apa ia benar-benar bahagia tanpaku? Tanpaku yang masih di sini,
mengharapkan dia yang mau kembali kepadaku? Tuhan, tolong aku. Aku ingin ia
kembali. Aku… merindukannya.
Tangisku semakin menjadi. Telingaku berdengung. Masih dapat kudengar suara
wartawan yang mewawancarai laki-laki itu dan kekasih barunya.
“Seems like Niall Horan really like Asian girl. The fact is Niall’s previous
girlfriend was Asian too…”
Salah satu tanganku terangkat, menekan dadaku. Sakit…
***
“I kept wondering our beautiful past memories. And I suddenly got a bit sad.”
----
“Where you gonna take me, hah?” tanyaku kesal.
Dia tertawa. Tangannya tidak melepaskan tanganku. Ia terus menuntunku karena
mataku ditutup oleh kain hitam olehnya.
“Somewhere. You will like it, Key,” jawabnya santai.
Aku mendengus. “If I won’t, I will kill you. Really.”
Dia kembali tertawa. “I swear you will never do that. You are too in love with
me.”
Aku memasang tampang jijik. Tapi aku tetap tidak bisa menghilangkan rasa
penasaranku.
“C’mon, Horan. Tell me where we will go,” rengekku.
Dia tidak menghiraukanku dan terus berjalan. Aku membuka mulut, ingin kembali
merengek, tetapi kuurungkan karena aku tahu dia tidak akan menjawab. Perjalanan
kami menuju tempat yang ingin ditunjukkan Niall dihiasi dengan suasana sunyi.
Beberapa saat kemudian, dia menghentikan langkahnya dan melepaskan pegangan
tangannya dari tanganku.
“Horan,” panggilku pelan. Tidak ada yang menyahut, membuat rasa panik
menerjangku. “Horan,” panggilku lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras.
Tiba-tiba kain hitam yang menutup mataku dibuka dan aku terpesona melihat
pemandangan di depanku. Sebuah meja yang di atasnya sudah terdapat berbagai
macam hidangan makan malam dan 3 gelas kecil yang terdapat lilin kecil di
dalamnya. Aku dapat mendengar suara debur ombak yang membuatku sadar kalau
sekarang aku berada di pantai. Aku menatap sekeliling. Pantai ini terlihat
remang karena cahaya lampu di beberapa warung kecil di dekat pantai. Aku
memalingkan wajah ke arah lain dan aku meneteskan air mata bahagia melihat apa
yang ada di depanku.
Di depanku sudah ada lilin-lilin yang dibentuk sedemikian rupa membentuk kata
‘I
♥ U’. Aku menatapnya yang berdiri di sampingku dan melihat
seulas senyum lebar di wajahnya. Aku tertawa dan langsung memeluk dirinya.
“You mean it, right?” tanyaku pelan.
“Even though I say no, you must know right I really mean it,” bisiknya
membuatku tersenyum. “I love you, baby.” Ia mencium pucuk kepalaku.
“I know,” gumamku dan mengeratkan pelukannya.
----
“What novels are you looking, Key?” tanyanya dengan nada bosan.
Sudah dua jam dia menemaniku mengelilingi toko-toko buku yang ada di seluruh
penjuru kota London untuk mencari beberapa novel terbaru yang kuinginkan. Dan
dari 10 novel yang kucari, baru 3 yang kutemukan. Maklum saja karena novel yang
kucari memang belum sepenuhnya tersebar di toko-toko buku.
“Key,” panggilnya karena aku sama sekali tidak menghiraukan pertanyaannya.
Aku menoleh sekilas dan hanya bergumam tidak jelas.
“Key, please,” panggilnya lagi membuatku kali ini benar-benar menatapnya.
“Go home,” rengeknya.
Aku mengerucutkan bibirku, kesal. Untung saja toko buku yang sedang kami
singgahi ini cukup sepi sehingga tidak ada yang melihat kalau ada seorang Niall
Horan bersamaku. Aku sedang malas untuk jogging di siang yang terik ini.
“Key, I’m really tired.”
“Me too,” jawabku asal lalu kembali melanjutkan pencarian novelku.
“You know what? I even could buy this bookstore for you, just if you will go
home. Now,” katanya dengan nada kesal.
Aku tersenyum sumringah mendengarnya. “Really?” tanyaku gembira. Dan sedetik
kemudian, aku mengubah ekspresiku menjadi sinis. “I even could too,” cibirku.
“Key, c’mon.”
Aku tidak menghiraukannya.
“Or just accompany me having lunch, Key. I’m really hungry. You must know
that.”
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Aku juga sadar kalau ini sudah memasuki
jam makan siang. Bahkan sudah lewat sejam yang lalu. Baiklah, aku sangat
menyiksanya karena membiarkannya menahan lapar selama 1 jam.
Aku berbalik dan mengecup bibirnya cepat. “Okay, c’mon.”
Dia tersenyum dan menggenggam tanganku, berjalan keluar dari toko buku itu.
----
“Nando’s, I’m coming. Nando’s, I’m coming,” ia bersenandung kecil sambil tetap
fokus dengan jalanan di hadapannya.
Aku tertawa mendengar nyanyiannya. Kukira ia akan marah karena nyanyiannya
kutertawakan. Tapi di luar dugaanku, ia malah semakin meneruskan nyanyiannya
membuatku semakin tertawa.
“I’m gonna have lunch at Nando’s. I’m gonna have lunch at Nando’s with my
girlfriend,” senandungnya lagi.
Aku semakin tertawa dan memukul lengannya pelan, menyuruhnya untuk menghentikan
nyanyian konyolnya itu. Tapi ia tidak menghentikannya sementara aku hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa pelan.
“Oh my dearest Nando’s…,” kali ini ia berseru.
“Stop it, Horan!” aku berkata sambil tertawa.
Ia menoleh dan terkekeh. “I’m glad to make you laughing. Your laugh are mine
too.”
Aku tersenyum. “Just stop that stupid song, okay?”
Keningnya berkerut, tanda kalau ia kebingungan. Tapi aku tahu kalau ini hanya
ekspresi dibuat-buat olehnya. “Why?” Ia kembali fokus menyetir. “Oh, you’re
jealous with my Nando’s?” Ia menoleh dan menatapku centil.
Aku meringis. “Horan, please.”
“Key, please,” ujarnya menirukan perkataanku.
Aku mendecak kesal dan memalingkan wajah memandang pemandangan kota London yang
silih berganti.
“And my girlfriend is jealous because I love Nando’s more than her,” ia
menjerit dengan suara tinggi yang tidak kesampaian.
Tawaku hampir meledak kalau tidak kutahan. Sebenarnya aku ingin marah, tetapi
mendengar suaranya yang ia paksa seperti itu membuatku tidak bisa marah lebih
lama lagi.
“Okay, okay. Horan, please stop it.” Tawaku akhirnya pecah.
Ia terkekeh lagi dan mengacak rambutku pelan. “Say ‘Horan, I love you’ first.”
Aku mengerucutkan bibir, sebal.
“Key, c’mon.”
“Okay,” jawabku pasrah. “Horan, I love you,” gumamku.
“Say it louder, please.”
Aku mendengus. “Horan, I love you,” ujarku dengan nada datar.
“I said louder, Key.”
“Horan, I love you!” seruku keras membuatnya tertawa.
Aku semakin mengerucutkan bibir.
“I love you too, Key,” ujarnya pelan tapi mampu membuatku bibirku melengkung ke
atas, membentuk seulas senyum.
***
Horan. Begitu aku memanggilnya. Panggilan sayang, mungkin. Sementara dia
memanggilku dengan Key. Dari nama panjangku, Keara Arashi, dia hanya
memanggilku dengan sebutan itu. Entahlah, tapi aku suka panggilannya itu dan
memanggilnya seperti itu. I’m glad to be the one who call him with that name.
Aku memandang ke luar jendela yang belum kututup sehingga cahaya bulan memantul
masuk ke kamarku yang gelap. Aku sengaja tidak menghidupkan lampu karena aku
ingin menangis. Aku hanya ingin menangis di kegelapan. Aku tidak pernah
menangis di depan orang lain. Termasuk di depannya. Yang orang-orang tahu aku
adalah sosok yang ceria, manis, bersemangat, dan hiperaktif. You know, strong
outside and fragile inside.
Aku melihat bintang-bintang yang bertebaran di hamparan langit hitam itu dan
kembali teringat dengannya. Menyadari begitu aku merindukannya. Merindukan
semua tentang dirinya.
Aku tidak tahu kalau sebegini sakitnya ketika merindukan orang yang sangat kita
cintai. Apalagi setelah beberapa yang jam yang lalu, aku mengetahui kalau dia
telah menemukan penggantiku. Aku ingin menolak kalau semua ini terjadi. Aku
ingin kembali ke masa di mana aku dan dia masih menjadi kami.
Kenapa dia meninggalkanku? Beginikah caranya? Dia meninggalkanku tanpa
mengatakan alasan apa-apa yang masuk akal. Aku tidak bisa menerimanya. Aku
tidak bisa membiarkannya pergi. Kenyataannya, aku tidak bisa mencegahnya pergi.
***
“Watching someone you love leaving is hard. But it’s harder, remembering that
time when he/she promised he/she won’t.”
----
“You will never leave me, right?” tanyaku, menolehkan pandanganku ke arahnya
yang sedang mengamati pemandangan di depannya.
Dia balas menatapku dan tersenyum. “Even if everyone says you don’t deserve me,
I won’t.”
Aku menatap gulungan ombak di depanku dan tersenyum tipis. “But the fact is
everyone did. Do you think I deserve you? I feel I don’t, Horan.”
Rahangnya mengeras. Raut wajahnya terlihat jelas sekali kalau ia tidak menyukai
pertanyaanku. Tapi aku menginginkan jawaban. Aku lelah hidup di tengah caci
maki yang mengatakan kalau aku tidak pantas untuk Horan-ku.
“Do you think, we really could keep this relationship… like you said?” tanyaku
lagi.
“Why you ask me those silly questions?” tanyanya balik.
“I need your answer, Horan.”
“Of course yes, Mrs. Horan,” jawabnya kemudian.
Pipiku memerah. Aku tersenyum salah tingkah dan menunduk malu. Tapi kemudian ia
mengangkat wajahku dengan telunjuknya.
“Don’t hide your cute face when you’re blushing,” ia berkata sambil tersenyum
menggoda.
“Shut up!” seruku sambil memukul lengannya pelan.
Ia tertawa renyah dan merengkuh tubuhku ke pelukannya hangatnya.
“Don’t you ever dare to ask me those questions again or I will be angry with
you. And don’t ever think that I’ll leave you, ‘cause I won’t. Okay?”
Dan aku hanya bisa mengangguk di pelukannya.
----
“We have to break up,” ujarnya datar. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaketnya
sementara tubuhnya bersandar di ambang pintu kamarku, berdiri dengan santainya.
Aku tersentak dan menatapnya tak percaya. “Wh-what?”
Ia mendengus dan mengulang kembali perkataannya. “I said, we have to break up.”
Mataku terasa panas akibat desakan air mata yang ingin keluar saat itu juga.
Tapi aku berusaha untuk menahannya.
“Why?”
“Because I want to.”
“Tell me your reason,” kataku lagi sambil masih berusaha menahan air mata yang
ingin keluar.
“Why I have to?” tanyanya kemudian. Suaranya terdengar serak seperti ingin…
menangis?
“You can’t leave without give me any reasons.”
“Shit! Stupid girl!” umpatnya membuatku terkejut. “I don’t care with what you
said. The point is we break up!” Ia berbalik dan pergi meninggalkanku yang
masih terpaku.
Seriously. So, we were already broke up?
***
Aku menatap undangan di tanganku. Sudah dua minggu berlalu sejak aku menonton
berita itu di televisi dan sekarang sebuah undangan sialan dikirimkan ke
rumahku. Di undangan itu terdapat namanya dan kekasihnya yang sukses membuat
dadaku sakit. Mereka akan mengadakan pesta pertunangan mereka lusa.
Sialan! umpatku.
Air mataku kembali menerobos keluar. Dan detik selanjutnya aku terisak. Aku
memukul-mukuli dadaku, berharap rasa sakit itu akan segera hilang. Tapi
ternyata lebih parah dari itu, aku malah merasakan napasku sesak. Aku berusaha
bernapas dengan teratur, tapi entah kenapa setiap tarikan napasku, dadaku
semakin sakit.
Aku menghapus air mataku dan berusaha untuk menghentikan tangisku. Kenapa
selalu begini? Keara, kenapa kau menangisinya? Dia sudah meninggalkanmu, kenapa
kau masih saja mengharapkannya?
***
“Even when I miss you, I’m okay, as long as you are happy.”
----
Aku menatap rumah megah di hadapanku dengan pandangan kosong. Entahlah. Setelah
aku turun dari mobil dan menyuruh supirku untuk pulang, aku hanya bisa berdiri
dengan wajah tolol di bawah tangga. Aku menyadari tatapan beberapa pasang mata
yang menatapku. Sekilas aku juga menyadari suara dan kilat jepretan kamera yang
menerpa wajahku. Tapi entah kenapa aku tidak bergerak atau pun menghindar.
Aku menolehkan pandangan ke arah rangkaian-rangkaian bunga yang berukuran besar
bertuliskan berbagai macam ucapan selamat atas pertunangan Horan-ku dan
kekasihnya.
Bodoh! umpatku. Setelah dia meninggalkanku, kenapa aku masih berani menyebutnya
dengan Horan?
Setelah akhirnya menarik napas panjang dan menyiapkan hati, pikiran, serta
mental, aku pun berjalan menaiki tangga dan melangkah masuk ke rumah itu. Aku
berdiri di ambang pintu dan seperti dihipnotis, semua orang menatapku. Aku
hanya bisa tersenyum tipis. Yang bertunangan dengannya bukan aku, tetapi kenapa
aku yang menjadi pusat perhatian?
Aku mengedarkan pandangan dan mendapati dirinya sedang berdiri dengan
tunangannya itu tidak jauh dari tempatku sekarang. Aku menatapnya, begitu juga
dia yang balas menatapku. Entah apa arti tatapannya itu, tapi yang jelas aku
merindukan tatapannya. Sangat.
Seketika aku menunduk, mencoba menetralisir perasaanku. Napasku naik-turun
tidak teratur. Perlahan aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk
tersenyum. Aku kembali mengangkat wajah. So, Key, it’s your time now.
Aku berjalan pelan mendekatinya yang sedang mengobrol dengan teman-temannya di
One Direction. Di sana juga terdapat Eleanor dan Danielle yang sudah kukenal
dengan baik. Yah, aku sering menghabiskan waktu dengan mereka. Hanya sebelum
hubunganku dengannya berakhir.
“Hello,” sapaku dengan suara yang aku sendiri tidak yakin apakah mereka
mendengarnya atau tidak.
Mereka menoleh dan sama sekali tidak terlihat terkejut dengan kedatanganku. Aku
berusaha memaksakan seulas senyum lalu menatap Horan-ku dan gadis itu.
Aku mengulurkan tanganku. “Congratulations,” ujarku tulus.
Mereka menatap tanganku yang terulur dengan tatapan aneh. Aku melihatnya ingin
membuka mulut tapi segera ia bungkam. Sesaat kemudian ia membalas uluran
tanganku, menjabatnya.
“Thank you,” gumamnya.
Aku menatap gadis itu, Jasmine. Aku tersenyum dan aku merasa seperti orang gila
karena gadis itu juga sama menatapku dengan anehnya. Apa ada yang salah dengan
mengucapkan selamat kepada mantan kekasihnya yang bertunangan? Aku menahan diri
untuk tidak bertanya tapi akhirnya aku sendiri tidak tahan.
“What’s wrong with me?” tanyaku.
Kulihat mereka tersenyum, kecuali dia. Padahal aku sangat ingin melihat
senyumnya. Aku merindukannya. Entah berapa lama aku menatapnya karena kemudian
Zayn bertanya padaku.
“Key—I mean Keara,” Zayn tersenyum salah tingkah membuatku menatapnya heran.
“Are you okay?” tanyanya kemudian.
Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Apa sekarang aku baik-baik saja? Setelah
melihatnya bersama orang lain? Bergandengan dengan orang lain?
Aku balas tersenyum. “Even when I miss him, I’m okay,” aku menatapnya, “as long
as he is happy.”
***
I thought the person for you was me, but I guess it’s not.”
----
“Dance?”
Aku menatap tangan yang terulur itu dengan bingung lalu mengangkat wajah.
Mataku terbelalak lebar ketika melihatnya berdiri di hadapanku. Aku hanya diam,
tidak menjawab ajakannya untuk berdansa. Entahlah, aku hanya merasa ini pasti
mimpi. Tapi kemudian, aku menyambut ulurannya itu dan seketika tanganku ditarik
olehnya ke tengah-tengah ruangan, bergabung bersama pasangan lainnya yang juga
sedang berdansa.
Aku melingkarkan tanganku ke leher jenjangnya dan saat itu juga aku merasakan
tubuhku bergidik ketika lengannya melingkari pinggangku. Aku mengikuti gerakan
dansanya pelan, tanpa mengatakan apa-apa. Aku juga hanya menunduk, tidak berani
menatapnya. Aku takut kalau aku menatapnya, pertahananku runtuh. Sejak tadi aku
berusaha menahan tangisku agar tidak keluar. Aku masih ingin bertahan di tempat
ini. Mengakhirinya sampai benar-benar selesai. Dan setelah itu aku berjanji
akan melupakannya.
“How are you?” tanyanya kemudian, membuka percakapan.
Aku mengangkat wajah sebentar lalu kembali menunduk. “Fine. And… you?”
“Pretty fine ‘cause I’m really happy today,” jawabnya dengan suara yang
terdengar… riang?
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku dan tersenyum miris dengan kepala tetap
menunduk.
“Congratulations, once again,” ujarku setelah terdiam beberapa lama.
“Hmm,” gumamnya.
“You must be happy to find the right girl for you.”
“Of course.” Ia mengangguk.
Dan setelah itu suasana dihiasi dengan kesunyian di antara kami. Yang terdengar
hanya musik dansa yang masih mengalun lembut serta suara para tamu undangan
yang entah kenapa kali ini sangat berisik.
Tiba-tiba tubuhku ditarik mendekat olehnya. Aku terkaget, tapi tubuhku seperti
membatu, tidak ingin memberontak. Sisi lainnya, aku takut kalau-kalau gadis itu
melihat tunangannya memperlakukanku seperti ini. Perlahan aku dapat merasakan
hembusan nafas menggelitik telingaku.
“Happy birthday, my Key,” bisiknya membuat tubuhku membeku.
***
“I can’t let you go, even if I die.”
----
“Happy birthday, my Key,” bisiknya pelan membuatku melongo.
Ia menjauhkan tubuhnya dariku dan menatapku. Aku yakin wajahku sekarang
terlihat konyol. Wait, hari ini tanggal berapa? Kenapa dia mengatakan ‘happy
birthday’ padaku? Seingatku ulangtahunku itu…
Aku menepuk keningku pelan, menyadari kebodohanku yang tidak menyadari kalau
hari ini memang ulangtahunku. Bagaimana bisa aku tidak tahu, Tuhan? Sebentar.
Berarti selama ini, aku… dikerjai?
Sedetik kemudian aku mendengar suara tawa yang cukup keras. Aku menatap
laki-laki di hadapanku dengan bibir dikerucutkan, sebal.
“You know? Your face is really funny. I can’t keep my laugh.” Ia kembali
tertawa membuatku mendecakkan lidah.
“So, all of this, just a joke? You just want to give me surprise for my
birthday? You are so annoying, Horan!” omelku membuatnya semakin tertawa.
“I’m a good actor, right?” tanyanya membuat hatiku semakin kesal.
“Shut up, Horan!” seruku lalu memukul lengannya pelan.
“Ouch.” Ia meringis kesakitan. “I supposed to really break up with you. You
know? You’re so rude with your boyfriend,” cibirnya.
Aku menghentikan pukulanku dan menatapnya kesal.
“How about your attitude with me 3 weeks ago? Hah?” jeritku membuat semua orang
menoleh ke arah kami.
Dia terkekeh. “I’m sorry, Key. Okay? I’m sorry.” Ia menatapku tulus. “Oh ya, I
have another surprise.”
“What?” tanyaku kaget.
Ia menjentikkan jarinya dan tiba-tiba latar panggung berganti dan aku baru
sadar kalau hiasan di ruangan ini juga sudah berganti. Aku melihat ucapan
selamat ulangtahun untukku membuatku tersenyum bahagia. Aku menatapnya dan ia
balas tersenyum.
“Happy birthday, Keara,” nyanyi seseorang membuatku menoleh. Oh, Zayn.
Aku juga melihat Eleanor dan Danielle di antara mereka membawa sebuah kue
ulangtahun yang berukuran sedang.
“Happy birthday, Keara,” nyanyi seseorang lagi. Liam.
“Happy birthday.” Louis.
“Happy birthday.” Harry.
“Happy birthday, my Key.” Aku mengalihkan pandanganku. Niall.
Aku memeluknya erat yang dibalasnya dengan erat pula. Aku menghirup aromanya
dalam-dalam yang sangat kurindukan. Aku dapat mendengar suara semua undangan
yang bersorak dan bertepuk tangan.
“Don’t you ever dare to leave me,” ujarku lirih. “Don’t you ever dare to let me
go, Horan.”
Ia mempererat pelukannya. “Even if I die, I can’t let you go, Key.”
Dan aku tersenyum di pelukannya. Thanks, God.
-End-
Moga menang ya, moga menang haha =))) xx